KAJIAN WACANA
PRAGMATIK, ANALISIS PERCAKAPAN DAN ANALISIS VARIASI
Oleh: Syifa Lailatul Maghfiroh/156068/PBSI 2015-A
Kajian wacana merupakan
suatu piranti yang digunakan untuk penyelidikan atau mengkaji satuan bahasa
terlengkap dalam hierarki gramatikal. Sebuah wacana memiliki beberapa kajian
antara lain teori tindak tutur, sosiolinguistik interaksional, etnografi
komunikasi, pragmatic, analisis percakapan dan analisis variasi. Telah kita
ketahui pada pembahasan sebelumnya mengenai tindak tutur, sosiolinguistik
interaksional dan etnografi komunikasi.
Menurut Verhaar (1996: 14) menjelaskan bahwa pragmatic
merupakan cabang ilmu linguistic yang membahas tentang apa yang termasuk
struktur bahasa sebagai alat komunikasi antara penutur dan pendengar, dan sebagai
pengacu tanda-tanda bahasa pada hal-hal ekstralingual yang dibicarakan.
Sedangkan menurut Purwo (1990: 16) mendefinisikan pragmatic sebagai telaah mengenai
makna tuturan menggunakan makna yang terikat konteks. Sedangkan memperlakukan
bahasa secara pragmatic ialah memperlakukan bahasa dengan mempertimbangkan
konteksnya, yakni penggunaannya pada peristiwa komunikasi. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa pragatik hampir sama dengan semantic yaitu sama-sama membahas
mengenai makna. Perbedaannya terletak pada arah kajian secara internal (ujaran
dan makna), sedangkan pragmatic mengkaji secara eksternal (ujaran, makna
ujaran, konteks/situasi) atau dapat diartikan sebagai pengkajian makna yang
dipengaruhi oleh hal-hal diluar bahasa. Pendeskripsian
pragmatik model Grice sebagai sebuah pragmatik versi kotemporer yang
memfokuskan pada makna dalam konteks, akan tetapi menekankan pada kedua unsur,
yakni tanda dan pemakai. Kemudian pada hubungan antara kedua unsur tersebut.
Konsep pokok dari pragmatik model Grice terdiri dari makna penutur dan prinsip
kerja sama (PK). Makna penutur
yang dimaksud adalah tujuan atau makna yang diterima oleh penerima dari ucapan
yang telah disampaikan oleh penutur. Sedangkan prinsip kerja sama memusatkan
pada konsep implikatif,
kesimpulan tentang maksud penutur yang timbul dari penggunaan makna semantik
dan prinsip – prinsip percakapan oleh penerima. Apabila penutur dan lawan tutur
dalam pertuturan itu menaati prinsip-prinsip kerja sama.
Bentuk-bentuk pragmatic dibagi menjadi beberapa antara
lain yaitu dieksis. Diesksis adalah gejala semantik yang terdapat
pada kata atau konstruksi yang hanya dapat ditafsirkan acuannya dengan
mempertimbangkan konteks pembicaraan. Dengan kata lain adalah bahwa kata
”saya, sini, sekarang, misalnya” tidak memiliki acuan yang tetap
melainkan bervariasi tergantung pada berbagai hal. Acuan dari kata saya
menjadi jelas setelah diketahui siapa yang mengucapkan kata itu. Kata sini
memiliki rujukan yang nyata setelah di ketahui di mana kata itu di
ucapkan. Demikian pula, kata sekarang ketika diketahui pula
kapan kata itu diujarkan. Dengan demikian kata-kata di atas termasuk
kata-kata yang deiktis. Berbeda halnya dengan kata-kata seperti meja, kursi,
mobil, dan komputer. Siapapun yang mengatakan, di manapun, dan kapanpun, kata-kata
tersebut memiliki acuan yang jelas dan tetap. Deiksis dapat di bagi menjadi
lima kategori, yaitu dieksis orang (persona), waktu (time),
tempat (place), wacana (discourse), dan sosial (social).
Dieksis orang menunjuk peran dari partisipan dalam
peristiwa percakapan misalnya pembicara, yang dibicarakan, dan entitas yanng
lain. Deiksis
orang ditentukan menurut peran peserta dalam peristiwa bahasa. Peran peserta
itu dapat dibagi menjadi tiga. Pertama ialah orang pertama, yaitu kategori
rujukan pembicara kepada dirinya atau kelompok yang melibatkan dirinya,
misalnya saya, kita, dan kami. Kedua ialah orang kedua, yaitu kategori rujukan
pembicara kepada seorang pendengar atau lebih yang hadir bersama orang pertama,
misalnya kamu, kalian, saudara. Ketiga ialah orang ketiga, yaitu kategori
rujukan kepada orang yang bukan pembicara atau pendengar ujaran itu, baik hadir
maupun tidak, misalnya dia dan mereka. Yang kedua yaitu dieksis waktu ialah pemberian bentuk pada rentang
waktu seperti yang dimaksudkan penutur dalam peristiwa bahasa. Ketiga,
yaitu dieksis
tempat ialah pemberian bentuk pada lokasi menurut peserta dalam peristiwa
bahasa. Semua bahasa -termasuk bahasa Indonesia- membedakan antara “yang dekat
kepada pembicara” (di sini) dan “yang bukan dekat kepada pembicara” (termasuk
yang dekat kepada pendengar -di situ) (Nababan, 1987: 41). Selanjutnya
yaitu dieksis wacana ialah rujukan pada
bagian-bagian tertentu dalam wacana yang telah diberikan atau sedang
dikembangkan (Nababan, 1987: 42). Deiksis wacana mencakup anafora dan katafora.
Anafora ialah penunjukan kembali kepada sesuatu yang telah disebutkan
sebelumnya dalam wacana dengan pengulangan atau substitusi. Katafora ialah
penunjukan ke sesuatu yang disebut kemudian. Bentuk-bentuk yang dipakai untuk
mengungkapkan deiksis wacana itu adalah kata/frasa ini, itu, yang terdahulu,
yang berikut, yang pertama disebut, begitulah, dsb. Terakhir
yaitu dieksis sosial berhubungan dengan aspek-asek kalimat yang mencerminkan
kenyataan-kenyataan tertentu tentang situasi sosial ketika tindak tutur
terjadi. Deiksis sosial menunjukkan perbedaan-perbedaan sosial (perbedaan yang disebabkan oleh factor-faktor
social seperti jenis kelamin, usia, kedudukan didalam masyarakat, pendidikan,
pekerjaan, dsb. yang ada para partisipan
dalam sebuah komunikasi verbal yang nyata, terutama yang berhubungan dengan
segi hubungan peran antara penutur dan petutur, atau penutur dengan topik atau
acuan lainnya.
Selain
pragmatik, kajian wacana yang selanjutnya yaitu analisis percakapan. Secara
ringkas, analisis percakapan
mendekati wacana dengan mempertimbangkan
cara partisispan dalam pembicaraan yang membangun solusi sitematis pada masalah
organisasional percakan secara berulang-ulang. Keberadaan masalah itu dan
keutuhan untuk menemukan solusi yang cukup memunculkan pencarian
etnometodologis terhadap anggota pengetahuan dari aturan dan kenormalan dalam
pembicaraan yang dilakukan sehari-hari. Karena makana aturan yang muncul
ditunjukkan secara semu melalui aktifitas yang sedang terjadi, sesorang dapat menguji
detail dari aktifitas untuk membuktikan aturan dan setruktur dasar pencarian
bukan hanya untuk membuktukan bahwa beberapa aspek percakapan “dapat” di
pandang dalam cara tertentu, tetati bahwa hal itu di pandang berdasarkan cara
pandang partisipan sendiri, Levinson 1983:318-19 (Schiffrin:2007:342). Jadi, dapat di tarik kesimpulan bahwa
definisi analisis percakapan adalah sebuah partisipasi terhadap aktifitas
sosial yang berupa penuturan antara manusia setiap hari-harinya. Bentuk
partisipasi ini tidak sekedar ditulis dengan tujuan untuk di teliti tapi juga
harus disertakan bukti berupa rekaman percakan seagai data yang nantinya dapat
di jadikan analisis bagi para analis-analis lainnya.
Terdapat
beberapa kajian wacana, kajian yang selanjutnya yaitu analisis variasi. Analisis variasi berfokus pada pembatasan sosial dan varian
linguistik secara semantik, ancangan tersebut juga diperluas ke arah teks.
Dalam hal ini, terdapat dua level analisis yang dilakukan, yaitu membandingkan
tipe teks dan menganalisis variasi di dalam teks. Dalam analisis variasi juga
berkaiatan dengan interaksional dan situasional dalam teks, mengedepankan
“faktor” bagaimana wujud suatu teks terkait secara linguistik dan sosial.
Jadi,
dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa kajian wacana antara lain pragmatic,
analisis percakapan dan analisis variasi. Ketiga kajian tersebut memiliki
keterkaitan satu sama lain. Pragmatik membahas tentang makna, analisis
percakapan yaitu sebuah bentuk
partisipasi aktifitas sosial yang berupa penuturan, dan analisis variasi
membahas tentang batasan sosial dan varian linguistik dengan mebandingkan tipe
teks dan menganalisis variasi didalam teks.
Sumber:
Schiffrin, Deborah. 2007. Ancangan
Kajian
Wacana. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Komentar
Posting Komentar