Langsung ke konten utama

Kajian Wacana 1



KAJIAN WACANA
TEORI TINDAK TUTUR, SOSIOLINGUISTIK INTERAKSIONAL DAN ETNOGRAFI KOMUNIKASI
Oleh : Syifa Lailatul Maghfiroh/156068/PBSI 2015 A

                        Telah diketahui bahwa wacana merupakan satuan gramatikal yang terlengkap dimana mencakup atau mengandung semua unsure-unsur yang terdapat dalam lunguistik, yaitu kata frasa, klausa dan kalimat sehingga menempati kedudukan yang paling tinggi. Kajian wacana merupakan suatu piranti yang digunakan untuk penyelidikan atau mengkaji satuan bahasa terlengkap dalam hierarki gramatikal. Sebuah wacana memiliki beberapa kajian antara lain teori tindak tutur, sosiolinguistik interaksional dan etnografi komunikasi.
                        Kajian wacana yang pertama yaitu teori tindak tutur. Menurut Searle, 1969 (Rani, Abdul. Dkk. 2006: 158-159), dalam komunikasi bahasa terdapat tindak tutur. Ia berpendapat bahwa komunikasi bahasa bukan sekedar lambang, kata, atau kalimat tetapi akan lebih tepat apabila disebut produk atau hasil dari lambang, kata atau kalimat yang berwujud perilaku tindak tutur. Lebih tegasnya, tindak tutur adalah produk atau hasil dari suatu kalimat dalam kondisi tertentu dan merupakan kesatuan terkecil dari komunikasi bahasa. Sebagaimana komunikasi bahasa yang dapat berwujud pernyataan, pertanyaan dan perintah, tindak tutur dapat pula berwujud pernyataan, pertanyaan dan perintah. Sedangkan menurut Austin, 1955 (Schriffrin, Deborah. 2007: 64) menyatakan bahwa beberapa tuturan tampaknya seperti bukan mengarah pada pernyataan. Tidak hanya pernyataan tertentu yang tidak menggambarkan atau melaporkan sesuatu, tetapi tuturan berupa kalimat atau bagian kalimat untuk melakukan suatu tindakan yang tidak lazim dideskripsikan untuk menyatakan sesuatu.  Austin menyebutnya sebagai tuturan performatif dan membedakannya dengan tuturan konstantif yaitu pernyataan deklaratif yang benar dan tidaknya dapat diukur.
                        Tindak tutur dalam ujaran suatu kalimat merupakan penentu makna kalimat itu. Namun, makna suatu kalimat tidak ditentukan oleh satu-satunya tindak tutur seperti yang berlaku dalam kalimat yang sedang diujarkan itu, tetapi selalu dalam prinsip adanya kemungkinan untuk menyatakan secara tepat apa yang dimaksud oleh penuturnya. Oleh karena itu, mungkin saja dalam setiap tindak tutur, penutur menuturkan kalimat yang unik karena dia berusaha menyesuaikan ujaran dengan konteksnya. Misalnya apabila seseorang ingin mengemukakan sesuatu kepada orang lain, maka apa yang ingin dikemukakannya itu adalah makna atau maksud kalimat. Akan tetapi untuk menyampaikan makna atau maksud kalimat, penutur harus menuangkannya dalam wujud tindak tutur.
                        Austin, 1962 (Rani, Abdul. Dkk. 2006: 160) menyatakan bahwa secara analitis dapat dipisahkan tiga macam tindak tutur yang terjadi secara serentak yaitu tindak lokusi, ilokusi dan perlokusi. Tindak lokusi oleh Searle (1987: 24) disebut tindak proposisi yang mengacu pada aktivitas bertutur kalimat tanpa disertai tanggung jawab penuturnya untuk melakukan suatu tindakan tertentu. Dalam tindak lokusi, si penutur mengatakan sesuatu secara pasti. Gaya bahasa si penutur langsung dihubungkan dengan sesuatu yang diutamakan dalam isi ujarannya. Lyons, 1977 (Rani, Abdul. Dkk. 2006: 160-161) menjelaskan bahwa tindak lokusi itu adalah suatu tindak berkata, yaitu menghasilakn ujaran dengan makna dan referensi tertentu. Tindak itu merupakan dasar bagi dilakukannya tindak tutur lain, lebih-lebih terhadap tindak ilokusi. Yang kedua yaitu tindak ilokusi. Menurut Austin (Schriffrin, Deborah. 2007: 66) menyatakan bahwa tindak ilokusi merupakan isu suatu tuturan dengan komunikasi konvensional yang diwujudkan dalam perkataan. Kemudian menurut Lyons, 1977: 730 (Rani, Abdul. Dkk. 2006: 161) berpendapat bahwa tindak ilokusi adalah suatu tindak yang dilakukan dalam mengatakan sesuatu seperti membuat janji, membuat pernyataan, mengeluarkan perintah atau permintaan. Austin mengatakan bahwa tindak mengatakan sesuatu (of saying) berbeda dengan tindak dalam mengatakan sesuatu (in saying). Tindak mengatakan sesuatu hanyalah bersifat mengungkapkan sesuatu sedangkan tindak dalam mengatakan sesuatu mengandung tanggung jawab si penutur untuk melaksanakan sesuatu sehubungan dengan isi ujarannya. Tindak dalam mengatakan sesuatu inilah yang oleh Austin disebut dengan tindak ilokusi. Sedangkan menurut pendapat Searle, 1980 (Schriffrin, Deborah. 2007: 72) tindak ilokusi adalah tindakan menyatakan, menanyakan, memerintahkan dan menjanjikan. Yang ketiga yaitu tindak perlokusi. Austin (Schriffrin, Deborah. 2007: 66) menyatakan bahwa perlokusi merupakan efek nyata yang diwujudkan dengan tuturan. Jika dalam tindak ilokusi terlihat bahwa isi ujaran lebih ditunjukkan pada diri si penuturnya, dalam tindak perlokusi isi ujaran itu lebih ditunjukkan pada diri pendengar. Austin mengemukakan bahwa mengatakan sesuatu sering menimbulkan pengaruh pasti. Implikasi tindak lokusi terhadap pendengar inilah yang disebut tindak perlokusi, yaitu tindak tutur yang dilakukan untuk mempengaruhi orang lain, menjadikan orang marah, dan menghibur seseorang yang pada intinya tindak perlokusi ini membuat orang bereaksi. Sedangkan menurut Searle mendeskripsikan tindak tutur menjadi lima jenis yaitu (1) asertif atau representative ialah tindak tutur yang menjelaskan apa dan bagaimana sesuatu itu adanya, misalnya pemberian pernyataan, pemberian saran, pelaporan, pengeluhan dan sebagainya; (2) komisif adalah tindak tutur yang mendorong penutur melakukan sesuatu misalnya bersumpah, berjanji, mengusulkan; (3) direktif ialah tindak tutur yang berfungsi mendorong pendengar melakukan sesuatu, misanya menyuruh, meminta, menasehati; (4) eksresif yaitu tindak tutur yang menyangkut perasaan dan sikap misalnya berupa tindakan meminta maaf, berterima kasih,menyampaikan ucapan selamat, memuji, dll yang merupakan suatu sikap untuk mengekspresikan dan mengungkapkan sikap psikologis penutur tehadap mitra tutur; (5) deklarasi yakni tindak tutur yang menghubungkan isi proposisi dengan realitas yang sebenarnya misalnya menghukum, menetapkan, memecat, dan sebagianya.
                        Kajian wacana yang kedua yaitu sosiolinguistik interaksional. Deborah (2007: 125) mendeskripsikan gagasan dasar soisolinguistik interaksional pada antropologi, sosiologi dan linguistic dan bagian-bagian yang menjadi perhatian ketiga disiplin ilmu tersebut, yakni budaya, sosial dan bahasa. Deborah mengawali dengan kerja Gumperz dan Goffman. Sosiolinguistik interaksional menurut Gumperz (Schriffrin, Deborah. 2007: 132) adalah pandangan bahasa yang secara sosial dan cultural dikonstruk sistem symbol yang digunakan sebagai cara yang merefleksikan makna sosial level-mikro (misalnya identitas kelompok, perbedaan status) dan menciptakan makna sosial level-makro (yakni apakah seseorang menuturkan dan melakukan pada waktu yang tepat). Penutur adalah anggota kelompok sosial dan cultural, cara kita menggunakan bahasa bukan hanya merefleksikan identitas dasar kelompok kita tetapi juga memberikan indikasi semacam siapa kita, kita ingin berkomunikasi apa, dan bagaimana cara kita melakukannya. Sedangkan Goffman mendeskripsikan bentuk dan makna konteks sosial dan interpersonal yang memberikan praduga untuk mengartikan makna. Memahami konteks tersebut dapat membiarkan kita lebih penuh mengidentifikasi praduga kontekstual yang tergambar dalam dugaan mitra tutur dari makna penutur.
                        Kajian wacana yang ketiga yaitu etnografi komunikasi yang menurut Deborah (2007: 184) adalah ancangan terhadap wacana yang berdasarkan pada antropologi dan linguistic. Etnografi komunikasi merupakan suatu ancangan yang berusaha untuk membuka kemungkinan-kemungkinan analitis yang baru (dengan menemukan jenis data dan permasalahan baru) dan mengajukan teori-teori yang baru. Etnografi komunikasi berusaha untuk melakukan hal tersebut dengan menganalisis pola-pola komunikasi sebagai bagian dari pengetahuan cultural dan perilaku. Telah diketahui  bahwa ancangan etnografi terhadap wacana diperlukan untuk menemukan dan menganalisis struktur-struktur dan fungsi-fungsi dari komunikasi yang mengatur penggunaan bahasa dalam situasi tutur, peristiwa tutur, dan tindak tutur.
                        Jadi, dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa kajian wacana antara lain teori tindak tutur, sosiolinguistik interaksional dan etnografi komunikasi yang ketiganya mempunyai penekanan masing-masing. Pada teori tindak tutur terdapat lokusi, ilokusi, dan perlokusi dimana dalam ilmu bahasa dapat disamakan tindak lokusi dengan predikasi, tindak ilokusi dengan maksud kalimat, dan tindak perlokusi dengan akibat suatu ungkapan. Pada sosiolinguistik interaksional menekankan pada kebudayaan dan sosial, sedangkan etnografi komunikasi menekankan pada semua variable diluar bahasa.

Contoh:
Nilai rapormu bagus sekali.
Dari segi lokusi, contoh tersebut hanya sebuah pernyataan bahwa nilai rapor itu bagus (makna dasar). Dari segi ilokusi, bisa berarti pujian atau ejekan. Dari segi perlokusi, hal itu dapat membuat pendengar menjadi bergembira (berterim kasih) dan sebaliknya dapat menjadi muram (sedih).


Sumber

Rani, Abdul. Dkk. 2006. Analisis Wacana Sebuah Kajian Bahasa dalam Pemakaian. Jawa Timur: Bayumedia Publishing.

Schiffrin, Deborah. 2007. Ancangan Kajian Wacana. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Klasifikasi morfem dan Morfem dasar, pangkal, dan akar

NAMA             : SYIFA LAILATUL M KELAS            : BAHTRA 2015 A NIM                 :156068   1.      Klasifikasi morfem Dalam kajian morfologi biasanya dibedakan dengan beberapa morfem berdasarkan kriteria tertentu, antara lain: a.       Morfem bebas dan terikat Morfem ini dibedakan berdasarkan kebebasannya untuk dapat digunakan langsung dalam pertuturan. Morfem bebas adalah morfem yang dapat berdiri sendiri yaitu bisa terdapat sebagai suatu kata . Contoh morfem {makan}, {satu}. Sedangkan morfem terikat adalah morfem yang tidak terdapat sebagai kata tetapi selalu dirangkaikan dengan satu atau lebih morfem yang lain menjadi satu kata. Contoh {bersatu}. (Verhaar: 1992, 52-53) Morfem bebas dapat digunakan langsung da...

KONVERSI, MODIFIKASI INTERNAL, DAN SUPLESI

NAMA             : SYIFA LAILATUL M KELAS            : BAHTRA 2015 A NIM                 : 156068 KONVERSI, MODIFIKASI INTERNAL, DAN SUPLESI a.       Konversi Berdasarkan Abdul Chaer (2008: 235-247) Konversi merupakan proses pembentukan kata dari sebuah dasar berkategori tertentu menjadi dasar berkategori lain tanpa mengubah bentuk fisik dari dasar itu. Contoh: Petani membawa cangkul ke sawah. (kalimat pertama) Cangkul dulu tanah itu, baru ditanami. (kalimat kedua) Kalimat pertama merupakan kalimat yang bermodus deklaratif berkategori nomina, sedangkan pada kalimat kedua merupakan kalimat imperative berkategori verba. Masalah kita sekarang mengapa hal ini   bisa terjadi, sebuah nomina tanpa perubahan fisik menjadi sebuah verba, walaupun dalam modus kalimat yang ...

REDUPLIKASI

NAMA             : SYIFA LAILATUL M NIM                 : 156068 KELAS            : BAHTRA 2015 A REDUPLIKASI             Reduplikasi merupakan peristiwa pembentukan kata dengan jalan mengulang bentuk dasar, baik seluruhnya maupun sebagian, baik bervariasi fonem maupun tidak, baik berkombinasi dengan afiks maupun tidak. (Masnur Muslich: 1990,48) Reduplikasi atau perulangan merupakan proses pengulangan kata atau unsure kata. Reduplikasi merupakan proses penurunan kata dengan perulangan utuh maupun sebagian. Reduplikasi dapat dibagi menjadi beberapa, antara lain: 1.      Reduplikasi Fonologis Menurut Abdul Chaer (2008: 179) reduplikasi fonologi berlangsung terhadap dasar yang bukan akar atau bentuk yang statusnya lebih ...